Sesuai dengan janji Sufiz.com, hari ini kami sajikan kisah lebih lengkap tentang Umar bin Abdul Aziz, selamat menikmati
Umar bin Abdul Aziz memberisihkan kedua tangannya dari debu kuburan Khalifah sebelumnya, Sulaiman bin Abdul Malik. Tiba-tiba ia mendengar suara gemuruh bumi di sekitarnya. Ia berpaling seraya berkata, “Apa ini?”
Mereka berkata, “Inilah kendaraanmu, wahai Amirul Mukminin. Ini telah disiapkan untuk Anda kendarai,” Umar melihatnya dengan sebelah mata, lalu berkata dengan suara gemetar dan terbata-bata karena kelelahan dan kurang tidur, “Apa hubungannya denganku, jauhkan semua itu dariku, mudah-mudahan Allah memberkati kalian. Bawa kemari keledaiku. Ia sudah cukup bagiku.”
Baru saja ia duduk di atas punggung keledainya, komandan pengawal datang berjalan di depannya, bersama sekelompok anak buahnya yang berbaris rapi di sekelilingnya. Di tangan mereka tergenggam tombak yang mengkilat.
Umar menoleh ke arah mereka dan berkata, “Aku tidak membutuhkan pengawalan kalian semua, aku hanyalah orang biasa dari kalangan kaum muslimin, aku berjalan sama seperti mereka.”
Selanjutnya Umar berjalan menuju masjid untuk shalat berjemaah bersama orang-orang. Selesai menunaikan shalat berjamaah ia berpidato di depan orang-orang itu, “Wahai manusia, sesungguhnya aku mendapatkan cobaan dengan diangkatnya aku sebagai Khalifah ini, yang tanpa diminta persetujuan terlebih dulu memintanya atau dimusyawarahkan terlebih dengan kaum muslimin.
Sesungguhnya aku melepaskan baiat yang ada di pundak kalian untukku. Selanjutnya pilihlah dari kalangan kalian sendiri seorang khalifah yang kalian ridhai.”
Orang-orang yang hadir pun berteriak dengan satu suara, “Kami telah memilihmu, wahai Amirul Mukminin dan kami ridha terhadapmu. Aturlah urusan kami dengan karunia dan berkah Allah SWT.”
Ketika suara-suara itu telah hening dan tenang, Umar memuji Allah SWT dan bershalawat kepada junjungan Nabi Muhammad SAW. Ia mulai mengajak orang-orang supaya bertaqwa, mengajak mereka supaya berzuhud dari kehidupan dunia, mendorong mereka kepada kehidupan akhirat dan mengingatkan mereka kepada kematian.
“Wahai manusia, barangsiapa yang taat kepada Allah, dia wajib ditaati. Barangsiapa yang bermaksiat kepada Allah, tidak seorangpun yang boleh taat kepadanya. Wahai manusia, taatlah kepadaku, selama aku mentaati Allah dalam menangani urusan kalian. Jika aku bermaksiat kepada Allah, kalian tidak wajib taat kepadaku.”
Setelah selesai shalat berjamaah dan berpidato, dia pulang menuju kerumahnya dan langsung masuk ke dalam kamarnya. Ia benar-benar ingin istirahat barang sejenak, setelah kelelahan yang amat sangat, sejak wafatnya Khalifah Sulaiman.
Baru saja sang Khalifah yang baru ini meletakkan punggungnya di tempat tidur, putranya, yang bernama Abdul Malik, yang baru berusia 17 tahun, datang dan berkata, “Apa yang ingin ayah lakukan?”
Dia menjawab, “Wahai anakku, aku ingin istirahat sejenak, karena tenagaku sudah tak tersisa lagi hari ini.”
“Apakah Ayah masih ingin tidur sejenak sebelum mengembalikan hak-hak orang yang dizalimi?” katanya putranya lagi.
“Wahai anakku, sesungguhnya aku tadi malam begadang (tidak tidur) karena mengurus jenazah pamanmu, Sulaiman. Nanti jika sudah tiba waktu dhuhur, aku shalat berjemaah bersama orang-orang dan aku akan mengembalikan hak-hak orang yang dizalimi tersebut, Insya’allah.”
Sang putra berkata lagi, “Siapa yang menjaminmu wahai Amirul Mukminin kalau usiamu hanya sampai waktu dzuhur?”
Ucapan putranya ini menyentak dan membakar semangat Umar dan melenyapkan seketika rasa kantuk dan kelelahan yang dirasakannya. Kekuatan dan kesegaran badannya yang sebelumnya dirasa sangat lelah, bangkit kembali. Ia pun berkata kepada putranya, “Mendekatlah wahai putraku.”
Sang putra mendekat dan Umar pun langsung memeluk dan mencium keningnya seraya berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah melahirkan dari keturunanku orang yang menolongku dalam menjalankan agama.”
Umar berdiri dan menyuruh putranya agar mengumumkan kepada orang-orang, “Barangsiapa yang merasa teraniaya, maka hendaklah mereka mengajukan perkatanya.”
***
SIAPAKAH Abdul Malik ini, bagaimana cerita anak muda ini sampai menjadi buah bibir orang banyak?
Dia adalah anak yang berhasil menyemangati ayahnya untuk selalu rajin beribadah dan menempuh jalan kezuhudan.
Umar bin Abdul Aziz mempunyai lima orang anak, tiga diantaranya perempuan. Mereka adalah anak-anak yang taqwa dan shalih. Abdul Malik adalah anak yang paling menonjol diantara saudara-saudaranya. Dia adalah anak yang ahli sastra, mahir dan cerdik. Walaupun usianya masih muda tapi cara berpikirnya seperti orang dewasa.
Anak itu tumbuh menjadi anak yang taat kepada Allah. Dia adalah anak yang tingkah lakunya paling mendekati keluarga besar Umar bin Khattab, dan anak yang paling mirip dengan Abdullah bin Umar.
Sepupunya, Ashim bin Abu Bakar bin Abdul Aziz bin Marwan, anak saudara Umar bin Abdul Aziz bercerita, “Suatu waktu aku bertandang ke Damaskus dan mampir di rumah anak pamanku, Abdul Malik. Saat itu dia masih bujangan, lalu kamu menunaikan Shalat Isya’, setelah selesai kami beranjak ke tempat tidur. Saat tengah malam aku terbangun, ternyata Abdul Malik sedang berdiri shalat dengan khusyuk dengan membaca firman Allah SWT, Surat Asy-Syua’ara: 205-207.
Saya sangat terkesan saat dia mengulang-ulang ayat tersebut sambil menangis tersedu-sedu. Setiap kali dia selesai membaca ayat tersebut, dia mengulangi kembali. Aku berkata dalam hati, “Anak ini bisa mati karena tangisannya.”
Ketika aku melihatnya tetap seperti itu, aku berguman agak keras dengan membaca: La Ilaha illallah wal Hamdu Lillah, dengan berpura-pura seakan-akan baru bangun tidur, padahal tujuanku untuk menghentikan tangisannya.
Saat dia mendengar suaraku, dia terdiam dan tidak lagi terdengar rintihannya.
***
UMAR BIN ABDUL AZIZ pernah mengumpulkan para Qari (ahli baca Al-Qur’an) dan para ulama ahli fikih negeri Syam. Saat itu, ia berkata, “Sesungguhnya aku memanggil kalian untuk menangani kezaliman yang saat ini ada di tengah-tengah keluargaku. Bagaimana pandangan kalian?”
Mereka berkata, “Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya hal itu tidak termasuk wilayah wewenangmu. Dosa-dosa atas tindakan kezaliman itu sepenuhnya berada di pundak orang yang mengambilnya secarfa tidak benar (merampasnya).
Rupanya Umar belum puas dengan jawaban tersebut, lalu melirik ke salah seorang diantara mereka yang tidak sependapat dengan mereka, seraya berkata, “Panggillah Abdul Malik ke sini, karena dia mempunyai ilmu yang cukup, pemahaman fikhnya dan daya nalarnya hampir sama dengan orang-orang yang kita undang.”
Ketika Abdul Malik datang, Umar bertanya kepadanya, “Bagaimana pendapatmu tentang harta orang-orang yang diambil anak-anak paman kita secara zalim, sedangkan para pemiliknya datang dan meminta kembali kepada kita, dan kita tahu bahwa harta itu memang hak mereka.”
Abdul Malik menjawab, “Menurutku, hendaknya Ayah mengembalikan harta itu kepada para pemiliknya selama Ayah mengetahui permasalahannya, jika tidak, berarti ayah juga termasuk orang-orang yang mengambil harta orang lain secara zalim.”
Seluruh rongga jiwa sang Khalifah, terasa lega dan apa yang selama ini menghantuinya hilang.
Abdul Malik ini lebih menyukai Murabathah (berjaga-jaga di perbatasan dari serangan musuh) dengan tinggal di salah satu kota yang dekat dengan perbatasan ketimbang menetap di Negeri Syam. Dia rela menetap di sana sementara di belakangnya kota Damaskus yang bertaman indah, naungan yang rimbun dan memiliki tujuh sungai, dia tinggalkan begitu saja.
Sekalipun sang ayah telah mengetahui kesalehan dan ketaqwaan anaknya, ia masih saja mengkhawatirkan dan merasa kasihan kalau-kalau dia bias luluh oleh godaan setan dan gejolak jiwa muda, serta antusias untuk mengetahui segala-galanya tentang dirinya tersebut selama dia masih bias mengetahuinya. Ia tidak pernah melakukan hal itu.
Maimun bin Mihran, seorang menteri, Qadhi sekaligus penasihat Umar bin Abdul Aziz, pernah bercerita, “Sewaktu menemui Umar bin Abdul Aziz, saya melihat ia sedang menulis surat kepada anaknya, Abdul Malik. Dalam surat itu ia menasihati, memberikan pengarahan, peringatan, dan berita gembira.
“Sesungguhnya, engkaulah orang yang paling pantas untuk menangkap dan memahami ucapanku. Segala puji bagi Allah SWT, Dia telah berbuat baik kepada kita dari semua urusan. Ingatlah karunia Allah kepadamu dan kepada kedua orang tuamu. Jangan sekali-kali berlagak dan berlaku sombong dan berbangga diri, karena hal itu termasuk perbuatan setan. Syetan adalah musuh bagi bagi orang-orang beriman. Ketahuilah aku mengirimkan surat ini, bukan karena ada laporang tentang dirimu. Aku tidak mengetahui tentangmu kecuali hal-hal yang baik. Namun demikian, telah sampai laporan kepadaku bahwa perihal tindakanmu yang suka berbangga diri. Seandainya kebanggaan itu menyeretmu kepada sesuatu yang aku benci, tentu engkau akan mendapatkan sesuatu yang engkau benci.”
Maimun selanjutnya menceritakan, “Kemudian Umar menoleh kepadaku seraya berkata, “Wahai Maimun sesungguhnya anakku, Abdul Malik, selalu menghiasi mataku dan aku menuduh diriku telah melakukan hal itu. Karenanya, aku khawatir kalau rasa cintaku padanya telah melebihi pengetahuanku tentang dirinya sehingga apa yang menimpa nenek moyangku dulu yang buta terhadap aib anak-anaknya menimpa diriku juga. Awasi dan carilah informasi yang akurat tentang dia. Perhatikan apakah ada pada dirinya sesuatu yang mengarah pada kesombongan dan berbangga diri. Karena dia masih anak-anak dan aku belum dapat menjamin dirinya bisa terhindar dari godaan setan.”
“Aku segera berangkat menemui Abdul Malik, ternyata dia adalah seorang anak yang baru menginjak remaja dan masih sangat muda, tapi memiliki pandangan yang ceria dan rendah hati. Dia menyambutku sambil berkata, “Aku sudah mendengar ayah sering berbicara tentang dirimu dan memang pantas engkau menyandangnya, yaitu engkau orang yang baik. Lalu setelah itu aku bertanya tentang keadaannya.”
Dia menjawab dengan ceria, “Senantiasa dalam keadaan baik dan mendapatkan nikmat dari Allah swt. Hanya saja aku khawatir jika persangkaan baik ayah terhadapku membuat aku terbuai, sementara yang sebenarnya aku belum mencapai keutamaan sebagaimana yang ayah sangka itu. Sungguh aku khawatir kalau kecintaan ayah padaku telah melabihi pengetahuannya tentang diriku, sehingga aku malah menjadi bebannya.”
Mendengar jawaban itu, Aku (Maimun) jadi terkagum-kagum kenapa bisa terjadi kecocokan hati di antara keduanya. Kemudian aku bertanya padanya, “Tolong beri tahu aku darimana sumber penghidupanmu?”
Dia menjawab, “Dari hasil tanah yang aku beli dari seseorang yang mendapat warisan dari orang tuanya. Aku membayarnya dengan uang yang bukan syubhat sama sekali. Sehingga aku tidak membutuhkan lagi harta Fai’ (yang didapat tidak melalui peperangan kaum muslimin).
“Apa makananmu?” aku bertanya lagi.
“Terkadang daging, terkadang Adas (sejenis kacang), minyak, terkadang Cuka dan minyak. Itu sudah cukup.” Sahutnya.
“Apakah engkau tidak merasa bangga dengan dirimu sendiri?” tanyaku lagi.
“Pernah aku merasakan sedikit hal semacam itu, namun ketika ayah memberikan nasehat kepadaku, dia berhasil membuka mataku akan hakekat diriku dan menjadikannya kecil bagiku dan jatuh harkatnya dimataku. Akhirnya Allah swt menjadikan nasehat itu sangat bermanfaat bagi diriku. Semoga Allah membalas kebaikan ayahku.”
Beberapa jam aku ngobrol bersamanya dengan santai dan rileks. Rasanya belum pernah aku melihat pemuda tampan, anak seorang Khalifah, sempurna otak dan daya nalarnya dan mempunyai akhlak yang luhur, dalam usia semuda itu.
Ketika sudah siang, pembantunya datang sambil berkata, “Kami sudah kosongkan!” lalu dia diam….
Aku bertanya kepadanya, “Apa yang mereka kosongkan itu?” WC,” jawabnya. “Bagaimana caranya?” tanyaku lagi. “Ya, mereka kosongkan dari oraang-orang,” jawabnya.
“Tadinya sikapmu mendapatkan tempat yang agung di hatiku hingga sekarang aku dengar hal ini,” kataku.
Dia begitu cemas dan bericap, “Inna Lillahi wa Inna Ilaihi Raaji’uan, lalu berkata, “Apa itu wahai paman semoga Allah merahmatimu?”
“Apakah WC itu milikmu?” tanyaku.
“Bukan,” katanya.
“Lantas apa alasanmu mengeluarkan mereka? Sepertinya dengan tindakanmu itu, engkau ingin mengangkat dirimu di atas mereka dan menjadikan kedudukanmu berada di atas kedudukan mereka. Kemudian engkau juga menyakiti si penunggu WC ini dengan mengabaikan upah hariannya dan membuat orang yang datang kemari kembali pulang sia-sia,” kataku lagi.
Dia berkata, “Mengenai penunggu WC itu, aku sudah membuatnya rela dengan memberikan upah harian.”
“Ini namanya pengeluaran foya-foya yang dicampuri oleh kesombongan. Apa yang membuatmu enggan masuk WC bersama orang-orang, padahal engkau sama saja dengan salah seorang dari mereka?” kataku.
“Yang membuatku enggan hanyalah tingkah beberapa orang tidak beres yang masuk WC tanpa penghalang, sehingga aku tidak suka melihat aurat-aurat mereka itu. Demikian juga aku tidak suka memaksa mereka mengenakan penghalang sehingga hal ini bisa mereka anggap sebagai campur tanganku terhadap mereka dengan menggunakan kewenangan penguasa yang aku bermohon kepada Allah agar kita terhindar darinya. Karena itu, tolong nasehati aku. Sehingga dapat berguna bagi diriku, dan tolong carikan solusi dari permasalahan ini!” jawabnya.
“Tunggulah dulu hingga orang-orang keluar WC pada malam hari dan kembali ke rumah-rumah mereka, lalu masuklah,” saranku.
“Kalau begitu aku berjanji tidak akan masuk selama-lamanya pada siang hari sejak hari ini, dan seandainya tidak karena dinginnya cuaca di negeri ini (sehingga membuat kita selalu ingin buang hajat), tentu aku tidak akan masuk WC itu selama-lamanya,” katanya.
Dia berhenti sejenak seakan memikirkan sesuatu kemudian mengangkat kepala dan menoleh kepadaku sambil berkata, “Aku bersumpah dihadapan paman, simpan rahasia ini sehingga tidak di dengar oleh ayah. Aku tidak suka dia masih marah, aku khawatir jika datang ajalku sementara aku tidak mendapatkan keridhaan ayah.”
Selanjutnya, “Aku berniat menguji seberapa jauh kedalaman akalnya, sambil bertanya kepadanya, “Jika Amirul Mukminin bertanya, apakah aku melihat sesuatu darimu, apakah engkau tega jika aku harus berdusta?”
“Tidak, Ma’adzalah, tapi katakana padanya, aku telah melihat sesuatu darinya lantas aku menasehatinya. Aku jadikan hal itu sebagai perkara besar di hadapan matanya, lalu dia cepat-cepat sadar. Setelah itu, ayah pasti tidak akan menanyakanmu untuk menyingkap hal-hal yang tidak engkau tampakkan padanya. Sebab Allah juga melindunginya dari mencari hal-hal yang masih terselubung,” jawabnya.
“Sungguh, aku belum pernah sama sekali melihat seorang dan ayah seperti mereka berdua, semoga Allah merahmati mereka berdua,” pikirku.
Umar bin Abdul Aziz adalah khalifah kedelapan Daulah Umayah. Dalam catatan sejarah, ia dikenal sebagai Umar kedua (Umar pertama adalah Umar bin Khattab) lantaran kebijaksanaan, keadilan, kejujuran serta kesederhanaannya.
Nama lengkapnya adalah Umar bin Abdul Aziz bin Marwan bin Hakam bin Harb bin Umayah. Ayahnya Abdul Aziz pernah menjadi Gubernur di Mesir selama beberapa tahun. Ia masih keturunan Umar bin Khattab melalui jalur keturunan ibunya, Laila Ummu Ashim binti Ashim bin Umar bin Khattab.
Ketika masih kecil Umar bin Abdul Aziz sering berkunjung ke rumah paman ibunya, Abdullah bin Umar bin Khattab. Setiap kali pulang ia selalu mengatakan kepada ibunya bahwa ia ingin seperti kakeknya. Ibunya mengatakan bahwa ia kelak akan hidup seperti kakeknya itu, sebagai seorang ulama yang wara’ dan zuhud.
Umar menghabiskan sebagian besar hidupnya di kota Madinah. Ketika ayahnya Abdul Aziz wafat, khalifah Abdul Malik bin Marwan memanggilnya ke Damaskus dan menikahkan dengan putrinya, Fatimah. Pada masa pemerintahan khalifah Walid bin Abdul Malik Umar bin Abdul Aziz diangkat sebagai Gubernur Hijaz. Saat itu usianya masih 24 tahun. Saat masjid Nabawi dibongkar untuk diperbaiki, Umar bin Abdul Aziz dipercaya sebagai pengawas pelaksanaannya.
Langkah-langkahnya yang bisa dicontoh adalah membentuk dewan penasehat yang beranggotakan sekitar 10 orang ulama terkemukan saat itu. Bersama merekalah Umar mendiskusikan berbagai masalah yang duhadapi masyarakat. Karena beberapa tindakannya yang sangat berani memberantas kezaliman, atas hasutan Hajjaj bin Yusuf dan orang-orangnya, Umar diberhentikan dari jabatannya sebagai gubernur. Namun ketika khalifah Sulaimanh bin Abdul Malik berkuasa, ia kembali diangkat sebagai sekretaris Negara.
Meskipun pernah menjabat sebagai gubernur dan sekretaris negara, Umar tidak pernah berambisi menjadi khalifah. Ketika khalifah Sulaiman sakit, sedangkan putra mahkotanya, Ayyub meninggal lebih dahulu, ia minta pertimbangan dan pendapat kepada Raja’ bin Haiwah. Saat itu Raja’ mengusulkan nama Umar bin Abdul Aziz. Padahal dalam suatu kesempatan, Umar pernah menolak untuk dinobatkan sebagai khalifah. Ternyata tanpa sepengetahuan Umar, sang khalifah sudah membuat kesepakatan untuk mengangkat Umar bin Abdul Aziz sebagai khalifah dan Yazid bin Abdul Malik sebagai khalifah sesudahnya.
Dia memerintah dalam waktu yang sangat singkat, yaitu hanya selama dua setengah tahun, tetapi kebijakan yang ia buat sungguh sangat berjasa bagi kejayaan umat Islam. Dialah yang memulai menerapkan syariat Islam secara utuh dengan meminta bantuan kepada para ulama seperti Hasan Al-Bashri. Pada masa pemerintahannya, hadis-hadis mulai dibukukan.
Dia juga mempunyai perhatian yang sangat besar terhadap perkembangan berbagai disiplin ilmu, seperti kedokteran. Dan lain-lain. Dialah yang mengusulkan memindahkan sekolah kedokteran di Iskandariyah Mesir ke Antiochia, Turki. Ia juga bersikap lunak terhadap musuh-musuh politiknya. Dia juga melarang keras kaum muslimin mengecam Ali bin Abi Thalib.
Untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, ia mengirim utusan ke berbagai daerah untuk memantau kerja para gubernur. Jika menemukan penyimpangan, Umar tidak segan-segan memecatnya, seperti yang ia lakukan terhadap Yazid bin Abi Muslim, gubernur Afrika Utara, dan Shalih bin Abdurrahman, gubernur Irak. Ia juga mengembalikan tanah-tanah rakyat yang dirampas para penguasa.
Dalam bidang militer, ia tidak begitu manaruh perhatian untuk membangun kekuatan angkatan perang. Ia lebih mengutamakan kemakmuran kehidupan masyarakat. Karena itulah, ia memerintahkan Maslamah untuk menghentikan pengepungan Konstantinopel dan penyerbuan ke Asia Kecil.
Dalam bidang ekonomi, ia membuat kebijakan yang bisa melindungi rakyat kacil. Pada masa pemerintahannya, orang-orang kaya membayar zakat sehingga kemakmuran benar-benar merata. Konon, saat itu sangat sulit untuk menemukan para penerima zakat lantaran kemakmuran begitu merata di seluruh negeri.
Dalam melaksanakan setiap kebijakan, ia selalu berada yang terdepan. Sebelum menyuruh orang lain berlaku hidup sederhana, ia lebih dahulu hidup sederhana. Sebelum menjadi khalifah, Umar biasa mengenakan pakaian yang bagus. Namun setelah menjabat sebagaiu khalifah, keadaannya justru terbalik. Ia menolak berbagai fasilitas kerajaan. Bahkan harta milik peribadinya dijual dan uangnya dimasukkan ke Baitul Mal.
Salah satu buktinya adalah Umar tidak mau menggunakan fasiltas Negara, seperti kejadian dengan putranya. suatu malam ketika ia sedang berada di kantor untuk urusan Negara, putranya datang. Begitu ia tahu bahwa putranya ingin membicarakan masalah keluarga, Umar memadamkan lampu yang ia gunakan. Akhirnya keduanya berbincang-bincang dalam kegelapan.
Ketika tindakannya itu ditanyakan oleh putranya, dengan mantap Umar menjawab bahwa mereka sedang membicarakan masalah keluarga, sedangkan lampu yang mereka gunakan adalah milik negara.
Karena kebijakan dan keadilannya itulah, Umar bin Abdul Aziz dikenal sebagai Khulafaur Rasyidin yang kelima atau Umar kedua setelah Umar bin Khattab.
Leave a Reply