• Skip to secondary menu
  • Skip to content
  • Skip to primary sidebar
  • Tentang Kami
  • Republikasi
  • Daftar Rujukan
  • Kontak

SUFIZ.COM

Kisah Mereka Yang Mempersembahkan Hampir Seluruh Hidup dan Kehidupannya Hanya Untuk Allah

  • Kisah Nabi
  • Kisah Mujahid
  • Kisah Wali
  • Kisah Sufi
  • Abu Nawas
  • Kisah Lain
You are here: Home / Jejak Sufi / Al-Hallaj, Sufi yang Disalib dan Dibakar (Bagian 1)

Al-Hallaj, Sufi yang Disalib dan Dibakar (Bagian 1)

February 10, 2012 By SUFIZ.COM 24 Comments

Sufi besar ini mempunyai tempat cukup penting dalam dunia tasawuf. Pernyataan-pernyataannya cendrung kontroversial.

Seperti Socrates – fisuf besar Yunani sekian abad sebelum masehi yang harus mati minum racun, Al-Hallaj juga tokoh besar dan filsuf yang dihukum mati karena mempertahankan pendapat dan ajarannya. Mereka sama-sama meninggalkan banyak legenda yang masih dibicarakan orang hingga kini. Lebih penting lagi ialah pemikiran dan gagasan-gagasannya yang brilian. Sudah ratusan buku yang membahas kedua tokoh ini.

Dalam dunia sufi, Al-Hallaj mempunyai kisah tersendiri. Pemikirannya tentang Wahdatul Wujud, yaitu paham yang meyakini bahwa seseorang mampu meleburkan diri ke dalam Dzat Allah, meninggalkan banyak kontroversi. Bahkan sampai sekarangpun perdebatan tentang hal itu belum juga reda. Selain itu Al-Hallaj juga sangat piawai dalam mengemukakan pengalaman spritualnya. Ia bahkan cenderung ekstrim. Jargonnya yang terkenal; Ana al-Haq (aku adalah Tuhan),masih terus menjadi bahan perbincangan yang tiada habis sampai sekarang.

Ia lahir dengan nama Abu Al-Mugis Al-Husain ibnu Mansur al-Baidlawi  pada 858 M / 244 H di Baida, di Provinsi Fars, Iran. Masa remajanya dihabiskan di Kota Tustar, belajar pada Sahal ibnu Abdullah At-Tustari, sufi besar yang terkenal di Tustar. Ketika usianya menginjak 18 tahun, ia pergi ke Basrah, lalu ke Baghdad, ia berguru kepada beberapa guru spritual, seperti Syekh Abdul Husain al-Nurim Syekh Junaid Al-Bagdadi, dan Syekh Amru ibn Usman Al-Makki.

Ketika berguru pada Al-Makki itulah ia mulai mendapat pemahaman tentang Wahdatul Wujud, dan sejak itu ia banyak melontarkan ucapan-ucapan yang kontroversial. Padahal beberapa gurunya sudah berkali-kali melarangnya. Tapi sia-sia. Itu sebabnya ia memilih meninggalkan perguruannya di Basrah, dan kembali ke Baghdad. Di Ibu kota Irak ini ia masuk kembali ke perguruan milik Syekh Junaid Al-Baghdadi. Tapi di sini ia kembali melontarkan ucapan-ucapan yang mengungkapkan rahasia ke-Tuhan-an, walaupun sudah dilarang oleh gurunya.

Meski bagi banyak orang dianggap nyeleneh, Al-Hallaj juga berdakwah. Bahkan ia tidak tanggung-tanggung dalam berdakwah. Misalnya berdakwah sambil mengembara, dari Ahwaz, Khurasan, Turkistan, keluar dari Irak, sampai ke India. Hebatnya dimanapun ia berada selalu elu-elukan karena ilmu agamanya yang tinggi. Kepiawaiannya inilah yang menjadikannya mempunyai banyak pengikut yang balakangan disebut kelompok al-Hallajiyah. Mereka memandang Al-Hallaj sebagai waliyullah yang memiliki kekeramatan.

Dalam beberapa catatan sejarah disebutkan, Al-Hallaj adalah seorang sufi yang sangat tekun beribadah. Dalam ibadahnya yang khusyu’ ia sering mengungkapkan rasa Syathahat, yaitu ungkapan-ungkapan yang kedengarannya ganjil. Hal itu terjadi ketika ia tenggelam dalam Fana, suatu tingkatan kerohanian ketika kesadaran tentang segala sesuatu sirna kecuali hanya kesadaran tentang Allah SWT.

Dari sinilah muncul ungkapan An al-Haq – yang oleh Al-Hallaj ditafsirkan bahwa  “Aku berada di dalam Dzat Allah.” Bayak ahli tasawuf menafsirkan, ungkapan itu sebenarnya tidak dimaksudkan bahwa dirinya adalah Tuhan. Hal itu tampak dalam sebuah pernyataan, “Aku adalah rahasia Yang Maha Benar, bukanlah Yang Maha Benar Itu Aku. Aku hanyalah satu dari yang benar. Maka bedakanlah antara aku dan Dia.”

Ia menulis sejumlah kitab dan bait-bait puisi. Dalam legenda Muslim, ia adalah prototipe pencinta yang mabuk kepayang kepada Allah.

Husain ibnu Manshur, yang dijuluki Al-Hallaj (penyortir wol), awalnya pergi menuju Tustar, di sana menjadi pelayan Sahl ibnu Abdullah selama dua tahun, kemudian setelah itu ia bertolak ke Baghdad.

Ia memulai pengembaraannya pada usia 18 tahun. Setelah itu ia pergi Bashrah dan bergabung dengan Amr ibnu Ustman, sampai delapan belas bulan bersamanya. Ia menikah dengan putri Ya’qub Al-Aqta’. Karena pernikahannya dengan Putri Ya’qub itulah membuat Amr ibnu Ustman menjadi tidak senang terhadap Al-Hallaj.

Karena itulah Al-Hallaj pergi meninggalkan Bashrah menuju Baghdad. Di sana ia menemui Junaid. Junaid memberikan syarat kepada Al-Hallaj, bahwa ia harus diam dan mengasingkan diri.

Setelah beberapa lama ia bersama Junaid, ia melanjutkan perjalanannya menuju Hijaz. Ia tinggal di Makkah selama satu tahun. Setelah itu ia kembali lagi ke Baghdad. Bersama sekelompok sufi ia sering menghadiri majelis Junaid dan sering mengajukan pertanyaan kepada Junaid, namun Junaid tidak menjawabnya.

Ketika Junaid menolak menjawab pertanyaan-pertanyaannya, Al-Hallaj merasa kesal dan tanpa pamit ia pergi menuju Tustar. Di sana ia tinggal selama satu tahun dan diterima dengan hangat oleh masyarakat, namun  karena ia sering merendahkan doktrin yang berlaku di tengah masyarakat saat itu, para ulama ulama pun akhirnya merasa jengkel lalu menentangnya.

Al-Hallaj pun sebenarnya sudah jemu dengan tempat itu. Ia lalu mencoba menanggalkan jubah sufinya, dan mengenakan jubah orang kebanyakan, dan menghabiskan hari-harinya bersama orang-orang kebanyakan (duniawi).

Namun upaya ini tidak membawa perubahan apa-apa bagi dirinya. Setelah itu ia menghilang selama lima tahun. Sebagian ia habiskan waktunya di Khurasan, dan Transoxiana, sebagian lagi di Sistan.

Al-Hallaj kemudian kembali ke Ahwaz. Di sana khotbah-khotbahnya mendapat dukungan dari kaum elite dan masyarakat kebanyakan. Ia sering berkhotbah tentang rahasia-rahasia manusia, sehingga ia dijuluki sebagai “Al-Hallaj Sang Rahasia.”

Setelah masa itulah ia mengenakan jubah Darwis yang compang camping lagi dan pergi menuju ke tanah Haram, bersama sekelompok orang dengan pakaian yang serupa. Saat ia tiba di Makkah, Ya’qub Al-Nahrajuri menuduhnya sebagai tukang sihir. Karena tuduhan itulah ia kembali lagi ke Bashrah, lalu ke Ahwaz.

“Sekarang aku akan pergi ke negeri-negeri kaum Polities, untuk menyeru manusia kepada Allah,” tuturnya.

Ia pun pergi ke India, Transoxiana, lalu ke Cina., menyeru manusia kepada Allah dan banyak menulis kitab untuk mereka.

Saat ia kembali dari pengembaraannya ke daerah-daerah itu, masyarakat di daerah-daerah tersebut menulis surat untuknya.

Orang-orang India memanggilnya Abul Mughis, masyarakat Cina menjulukinya Abul Mu’in, mereka yang di Khurasan mengenalnya sebagai Abul Muhr, orang-orang Parsi memanggilnya Abu Abdullah, masyarakat Khusiztan menjulukinya Al-Hallaj, sang Rahasia, di Bahgdad ia dijuluki sebagai Mustalim, sedangkan di Bashrah ia dikenal sebagai Mukhabbar.

Sekembalinya dari Makkah yang kedua kalinya, keadaannya telah banyak berubah. Ia adalah seorang “manusia baru”, menyeru manusia kepada kebenaran dengan menggunakan istilah-istilah yang sama sekali tidak dipahami oleh seorangpun. Karena itulah, diriwayatkan bahwa ia telah di usir dari lima puluh kota.

Dalam keadaan yang membingungkan seperti itulah, masyarakat terbelah menjadi dua kelompok berkaitan dengan Al-Hallaj, ada yang pro pada pendapatnya, dan ada banyak yang menentangnya. Walaupun mereka banyak yang menyaksikan keajaiban-keajaiban yang dilakukan oleh Al-Hallaj.

“Katakanlah, Dialah Kebenaran,” teriak mereka kepadanya.

“Ya, Dialah segalanya,” jawab Al-Hallaj. “Kalian mengatakan bahwa Dia hilang (tak dapat diindrai). Sebaliknya Husainlah (maksudnya dirinya) yang hilang (fana). Lautan tak akan surut ataupun lenyap.”

Masyarakat melapor kepada Syekh Junaid, “kata-kata Al-Hallaj mengandung makna esoteris.”

“Biarkan ia dieksekusi,” jawab junaid. “Sekarang ini bukanlah saat yang tepat bagi makna-makna esoteris.”

Ia dipenjara oleh Khalifah selama satu tahun. Namun selama dalam tahanan itu, masyarakat sering menjenguk dan menemuinya untuk mengkonsultasikan masalah-masalah mereka. Akhirnya mereka dilarang untuk mengunjungi Al-Hallaj. Setelah itu selama lima bulan tak ada seorangpun yang menemuinya, kecuali Ibnu Atha’ dan Ibnu Khafif.

Pada suatu kesempatan, Ibnu Atha’ mengirimkan pesan kepada Al-Hallaj. “Wahai Syekh, mintalah maaf atas segala ucapanmu agar engkau bisa bebas.”

Al-Hallaj menjawab, “Suruh ia yang mengatakan hal ini untuk meminta maaf.”

Ibnu Atha’ menangis saat mendengar jawaban ini. “Kita bahkan tidak memiliki secuil pun derajat dibanding dengan Al-Hallaj.” Katanya.

Diriwayatkan, pada malam pertama ia dipenjara, para sipir datang ke selnya, namun tidak menemukannya di sana. Mereka mencarinya ke seluruh sudut sel, namun ia tetap tidak ditemukan.

Pada malam kedua, mereka juga tidak menemukan baik Al-Jallaj maupun selnya.

Pada malam ketiga, mereka menemukannya berada di dalam selnya.

Para sipir itu bertanya, “Dimana engkau pada malam pertama, dan dimana engkau bersama sel ini di malam kedua? Kini engkau di sel ini kembali, tanda-tanda apa ini?”

Ia menjawab, “Di malam pertama, aku berada di dalam-Nya, karena itulah aku tidak berada di sini. Pada malam kedua, Dia berada di sini, maka aku dan sel ini pun tiada. Di malam ketiga, aku dikirim kembali, agar hukum dapat ditegakkan, ayo lakukan tugas kalian!”

Saat Al-Hallaj masuk penjara itu, ada tiga ratus orang tahanan lain di sana. Malam itu ia menyapa mereka, “Wahai para tahanan, maukah kalian aku bebaskan?”

“Mengapa tidak engkau bebaskan saja dirimu sendiri?” Tanya mereka.

“Aku adalah tahanan Allah, aku adalah pengawal keselamatan,” jawabnya. “Jika engkau mau, aku dapat melepaskan semua belenggu dengan satu isyarat.”

Al-Hallaj membuat satu isyarat dengan jari telunjuknya, dan semua belenggu mereka pun terbuka, hancul lebur.

“Sekarang bagaimana kita bisa pergi? Tanya para tahanan itu. “Karena pintu sel terkunci.”

Al-Hallaj membuat satu isyarat lagi, dan tembok penjara pun jebol.

“Sekarang pergilah kalian,” pekiknya.

“Engkau tidak ikut?” Tanya mereka.

“Tidak,” jawabnya. “Aku punya sebuah rahasia dengan-Nya yang hanya bisa diungkapkan di tiang gantungan.”

“Keesokan harinya para sipir bertanya padanya, “Kemana perginya para tahanan lainnya?”

“Aku telah membebaskan mereka,” jawab Al-Hallaj dengan santainya.

“Mengapa engkau tidak ikut pergi?” tanya mereka.

“Allah punya alasan untuk mencemoohku, maka aku tidak pergi,” jawabnya.

Kejadian di penjara ini dilaporkan kepada Khalifah. “Akan ada kerusuhan,” pekik Khalifah. “Bunuh dia, atau cambuk dia dengan tongkat sampai dia menarik kembali ucapannya.”

Mereka mencambuknya dengan tongkat sebanyak tiga ratus kali. Setiap kali cambuk mendera tubuhnya, sebuah suara ghaib berkata, “Jangan takut, wahai Ibnu Manshur!”

Kemudian mereka membawanya keluar untuk disalib. Dengan tiga belas belenggu yang berat di tubuhnya, Al-Hallaj melangkah dengan tegap sepanjang jalan, sambil melambaikan tangannya seperti seorang pengembara.

“Mengapa engkau berjalan dengan begitu pongah?” Mereka bertanya.

“Karena aku tengah berjalan menuju pejagalan,” jawabnya. sambil melantunkan bait-bait syait:

kekasihku tak bersalah

dieri-Nya aku anggur terbaik seperti Dia

laksana tuan rumah yang ramah,

melayani tamunya.

Dan kala perjamuan telah berakhir,

Dia menghunus pedang dan kafan pun di gelar-Nya,

Itulah takdir,

Bagi ia yang meneguk anggur lama,

Di musim panas bersama singat tua.

 

Bersambung Bagian Kedua:Al-Hallaj: Ana al-Haq (Bagian 2)

Filed Under: Jejak Sufi Tagged With: Abu Al-Mugis Al-Husain ibnu Mansur al-Baidlawi, Abul Mughis, Al-Hallaj, al-Hallajiyah, An al-Haq, Husain ibnu Manshur, Sahal ibnu Abdullah At-Tustari, Syathahat, Syekh Abdul Husain al-Nurim Syekh Junaid Al-Bagdadi, Syekh Amru ibn Usman Al-Makki, Syekh Junaid Al-Baghdadi, Wahdatul Wujud

Newsletter Sufi

Dapatkan update kisah-kisah sufi terbaru langsung ke email Anda.

Jangan lupa klik link konfirmasi yang terkirim ke email Anda.

Tentang Kami

SUFIZ.COM merupakan website/blog yang menyajikan beragam kisah teladan dari para nabi, para sufi, para wali, para sunan, para Mujahid bahkan juga dari kisah-kisah Abu Nawas yang dikenal dengan cerita-cerita lucunya.

Reader Interactions

Comments

  1. Djosan Ramadhan says

    February 10, 2012 at 4:48 pm

    Alfateha rhodiallahu taalla wailla hadrati husein manshur Al Hallaj.
    Saiyulillahi lahumul fatehah,,,,

  2. kerah ledrek says

    March 11, 2012 at 1:48 pm

    darimana referensi antum utk tulisan ini? trim’s

  3. admin says

    March 12, 2012 at 3:33 pm

    Lihat di https://www.sufiz.com/jejak-sufi/al-hallaj-ana-al-haq-bagian-2.html terimakasih

  4. normansyah says

    September 30, 2012 at 10:12 pm

    rasul dan nabi manusia utama

    pandangan zahir adat dunia

    akulah norman tiada yg sama

    nama dan pangkat hanyalah asma

  5. eddy says

    November 13, 2014 at 11:34 am

    subhanallah…

  6. assiti al ladunni says

    November 3, 2015 at 3:16 pm

    i love to read the story of tokoh sufi…terkenang dan merasuk ke dalam sanubari..

  7. Prass says

    June 29, 2016 at 4:04 pm

    Kita bisa percaya, bagi seorang sufi zuhud seperti Manshur Al-Hallaj, kematian bukan lah sesuatu yang menakutkan. Baginya, kematian adalah hal biasa, sebuah keniscayaan mutlak, maka tak perlu ia hindari. Dia sudah bisa memisahkan antara apa yang haq dan apa yang bathil. Dia sudah menguasai hidup itu sendiri, dan bahkan dia lah hakekat Sang Hidup itu sendiri.

  8. anonim says

    July 23, 2016 at 6:23 pm

    Syekh siti jenar,kasunyatan jawi pun sama..manunggaling kawulaning gusti

  9. Rizal says

    November 29, 2016 at 3:30 am

    Sungguh kerinduan ingin berjumpa dengan wali mu ya allah…

  10. raju says

    January 4, 2017 at 2:05 pm

    Alhamdulillah al hajjaj dihukum mati

  11. HAMDAN HASSAN says

    February 8, 2017 at 1:32 pm

    Nabi Muhammad tidak mengajar ilmu macam al Halaj ajar ini, jadi lebih baik jangan diikut takut menjadi sesat.

  12. Abdullah says

    October 24, 2017 at 12:40 pm

    Semoga Allah menyiksa al-hallaj dengan siksa yang paling berat. Wahai orang-orang gila… mengapa kalian menuhankan makhluk?! Saya tantang semua orang yang punya karomah dan masih hidup sekarang ini, coba kalian bunuh bashar assad (presiden suriah) dan donald trump (presiden amerika)! Jika kalian semua tidak sanggup membunuhnya berarti kalian cuma PENYIHIR RENDAHAN BUSUK IRENG!

  13. Genggong says

    December 3, 2017 at 9:22 pm

    Atas saya komen nya mirip extremis radikal

  14. Untung suropati says

    March 8, 2018 at 8:31 pm

    Manusia terdiri dari 7 lapis 1.bulu 2.kulit 3.daging 4.urat 5.darah 6.tulang 7.sum sum….jadi kalau ngaji baru sampai kulit jangan berani comment yang bukan bukan tentang al halaj,syeikh siti jenar dan sufi lainnya. Karena mereka wali allah.

  15. Aji Petak says

    June 5, 2018 at 10:10 pm

    Syech ibnu mansyur 🙏

  16. Abdur says

    September 4, 2018 at 7:24 pm

    Al Hallaj dan para waliyullah adalah manusia yang telah mancapai Cinta Kasih Allah, hal ini tak bisa dijabarkan dengan Syariat awam. Jika ada yang mengkonfrontir bahwa Rasulullah tidak mengajarkan hal demikian, merupakan pandangan yang lebih bodoh dari sekedar bodoh biasa. Rasulullah adalah pimpinan dari semua kekasih Allah, beliau hanya mengajarkan cara mencapai Ridha Allah dengan cara sederhana yakni Syariat, jika umatnya mampu menjabarkan dengan cara Cinta yang lain. Maka itu adalah juga Anugrah .

  17. Rusj.bag says

    October 10, 2018 at 7:40 am

    Kalau seorang sufi yang seperti itu benar..mengapa ia berbicara dengan kurang bijaksana didepan manusia? Jangan sampai itu kesombongan yang tertipu oleh setan, atau kejahilan karena memasuki wilayah-wilayah ghaib.

    Ingat bahwa rasul pun selalu berbicara dengan bahasa yang mudah dimengerti manusia. Apakah kedudukannya melebihi rasul, sehingga ia lebih layak berbicara seperti itu?

    Note, saya tidak menafikan bahwa wali Allah itu ada bagi hambaNya yang sholeh. Tapi sekalipun dekat seorang hamba, tentunya ia akan makin bijaksana didepan manusia, karena Allah adalah Maha Bijaksana.

    Sangat sering saya menjumpai bahasa-bahasa sufi ini seolah ada dilangit, tidak membumi. Mereka merancukan antara berbagai sifat misal ada dan tiada, dzat dan makhluk, realita dan nisbi…yang sebenarnya tak membawa manfaat nyata. Malah seringnya menjadi penghambat kemajuan, membuat dunia menjadi nisbi dan berhenti, menunggu “bisikan” daripada berinisiatif dengan akal.

    Bukankah Allah sudah berkehendak menciptakan bumi ini, dunia dengan segala kesibukannya. Apakah sufi ini menjadi lebih dari Tuhan sehingga mereka mau “melompati” kehendakNya ? Kalau begitu apakah benar itu kebenaran dari Tuhan?

    Sisi-sisi agama yang mudah menggelincirkan manusia adalah sebelah kiri, yaitu orang2 yang berusaha mencari kesejatian dibalik kesejatian Tuhan, memasuki wilayah keghaibanNya, sisi kanan adalah kaum khawarij yang keluar dari Islam karena bermain dengan syariat tanpa memahami maksud dari sifat-sifat Tuhan didalamnya.

    Lebih baik berada didaerah aman, karena urusan kedudukan hamba dengan Tuhan adalah urusan Tuhan. Jangan sampai tertipu karena nafsu ingin dekat, atau ego karena dekat. Dua hal yang sulit bagi orang yang tak waspada.

  18. maulanbach says

    November 22, 2018 at 10:12 am

    wadah lah yg tidak mampu menampung limpahan FaidhNya…meluber dan menerjang apa saja yg ada disekitarnya…yg bijak, yg awwam, yg alim dan ulama…
    semua menangkap hikmah yg sesuai wawasan yg dimiliki…
    maka saat ada yg menyalahkan…dia tidak salah..
    saat ada yg menghujat…dia tidaklah hina
    saat ada yg memuji dia tak menjadi suci
    yg pergi hanya menyisakan pesan bagi yg ditinggalkan…
    yg terlihat hanyalah yang memang telah fana sejak awwal…

  19. udin says

    January 6, 2019 at 6:40 pm

    Yes ah belekok samidin

  20. Yunus says

    June 17, 2019 at 5:53 pm

    Saya suka kisah beliau. Semoga kita bisa terus belajar. Amien.

  21. Sibor says

    May 29, 2020 at 11:23 pm

    Mayoritas msyarakat itu adalah Kaum Syariat, Kaum ngamokkan, pendek kaji sependek akal Mereka, Mereka gak ngarti dimensi tareqat,hakekat dan mahrifat….

Trackbacks

  1. Al-Hallaj: Ana al-Haq (Bagian 2) says:
    February 12, 2012 at 9:26 am

    […] Bagian Pertama Kisah Al-Hallaj […]

  2. :: Pondok Pesantren Al-Mubtadi-in :: - Al-Hallaj: Ana al-Haq says:
    July 14, 2012 at 4:10 pm

    […] Bagian Pertama Kisah Al-Hallaj […]

  3. Belajar melihat dengan dua sisi dari eksekusi mati al-Hallaj | Perspektif Mind says:
    February 8, 2019 at 5:58 pm

    […] https://www.sufiz.com/jejak-sufi/al-hallaj-sufi-yang-disalib-dan-dibakar-bagian-1.html (diakses pada 6 Februari […]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Primary Sidebar

Kisah Sufi

Dapatkan update kisah-kisah sufi terbaru langsung ke email Anda.

Jangan lupa klik link konfirmasi yang terkirim ke email Anda.

Kisah Terbaru

  • Sekelumit tentang Sosok Abu Nawas yang Perlu Dikenal
  • Habib Ali bin Muhammad Alhabsyi, Tanda Kewalian yang Muncul Sejak Kecil
  • Al-Hujwiri, Kisah Penyingkap Pintu Makrifat
  • Ahmad Sirhindi, Sufi yang Meluruskan Paham Ibnu Arabi
  • Ibnu Arabi, Ketika Hamba Bersatu dengan Pencipta

Komentar Anda

  • Muhammad sholhin on Sunan Ngudung, Panglima Orang Alim
  • Syarief on Ahmad Sirhindi, Sufi yang Meluruskan Paham Ibnu Arabi
  • syarief on An-Nifari, Sang Pengelana yang Enggan Bicara
  • Ahsanul Mufid on Ismail Al-Khalidi Al-Minangkabawi, Syekh Tarekat Naqsabandiyah dari Sumatera Barat
  • Dzulumat on Al-Hallaj: Ana al-Haq (Bagian 2)

Tentang Kami

SUFIZ.COM merupakan website/blog yang menyajikan beragam kisah teladan dari para nabi, para sufi, para wali, para sunan, para Mujahid bahkan juga dari kisah-kisah Abu Nawas yang dikenal dengan cerita-cerita lucunya. Selengkapnya

© 2018 Sufiz.com - Kisah Kisah Sufi Terlengkap