Suatu saat pernah terjadi kesalahpahaman antara Muhammad Al-Hanafiyah dengan kakaknya, Hasan bin Ali. Akibatnya untuk beberapa lama mereka tidak saling menyapa. Akhirnya Muhammad mengirim sepucuk surat kepada Hasan, kakaknya.
“Allah telah mengutamakan engkau daripadaku dengan banyak kelebihan. Ibumu adalah Fatimah binti Muhammad, Rasulullah SAW, sedangkan ibuku, hanyalah seorang wanita dari bani Hanifah. Kakekmu dari pihak ibu adalah Rasulullah SAW, makhluk Allah paling suci dan sempurna. Sedangkan kakekku dari pihak ibu adalah Ja’far bin Qays. Karena itu, jika suratku ini telah engkau terima, segeralah menemuiku untuk memperbaiki hubungan kita sehingga keutamaan dalam segala hal tetap akan menjadi milikmu.”
Begitu surat itu sampai ke tangan Hasan, ia segera bergegas pergi ke rumah adiknya dan memperbaiki hubungan dengan adiknya yang selama ini terputus.
Siapakah gerangan manusia cerdas, berakhlak mulia yang bernama Muhammad Al-Hanafiyah itu?
***
Kisah orang mulia ini berawal dari saat-saat terakhir kehidupan Rasulullah SAW. Suatu hari Ali bin Abi Thalib berkata kepada Rasulullah SAW, “Ya Rasulullah, bagaimana seandainya saya mempunyai seorang anak laki-laki sepeninggalmu, lalu saya beri nama dengan namamu dan saya beri kunyah (julukan) dengan kunyahmu?”
“Boleh saja,” jawab Rasulullah.
Sampai tiba saatnya Rasulullah SAW pergi untuk selama-lamanya menghadap Sang Khalik. Beberapa bulan kemudian, Fatimah, ibunda Hasan dan Husen, menyusul menghadap sang pencipta.
Ali bin Abi Thalib menikahi salah seorang putri dari bani Hanafi yang bernama Khaulah binti Ja’far bin Qais al-Hanafiyah. Dari perkawinan ini, lahirlah seorang putra yang diberi nama Muhammad. Ia diberi julukan Abul Qasim, sesuai dengan izin Rasulullah SAW. Tapi hampir semua orang memanggilnya dengan sebutan Muhammad Al-Hanafiyah, untuk membedakannya dengan kedua kakaknya (Hasan dan Husen), putri Fatimah Az-Zahroh. Sejak saat itulah ia dikenal dalam sejarah dengan nama tersebut.
Muhammad Al-Hanafiyah dilahirkan pada saat-saat terakhir pemerintahan Abu Bakar As-Shiddiq. Ia besar dan tumbuh di bawah asuhan langsung sang ayah, Ali bin Abi Thalib. Dari ayahnya ia belajar tentang ibadah dan kezuhudan. Dari ayahnya pula ia mewarisi keperkasaan, keberanian, kefasihan dan kepandaian berpidato. Ia tumbuh menjadi pemuda gagah perkasa dalam berbagai medan pertempuran dan ahli berpidato yang mengagumkan dalam berbagai pertemuan.
Sejak muda belia ia sudah terjun ke berbagai peperangan bersama sang ayah. Ia mendapatkan gemblengan yang sangat keras dan ketat dari sang ayah melebihi kedua saudaranya, Hasan dan Husen. Ia tampil menjadi pejuang yang pantang penyerah dan pantang mundur.
Suatu ketika ia pernah ditanya oleh seseorang, “Mengapa ayahmu selalu menjerumuskan kamu ke tempat-tempat yang berbahaya, dan membebanimu dengan beban-beban yang berat melebihi beban kedua saudaramu, Hasan dan Husen?”
Ia menjawab, “Itu disebabkan karena kedua kakakku itu menduduki tempat dalam diri ayah seperti kedua biji matanya, sedang saya menduduki tempat sebagai kedua belah tangannya. Dan ia menjaga kedua matanya dengan kedua tangannya.”
Saat terjadi perang Shiffin yang berlangsung antara Ali bin Abi Thalib dengan Mu’awiyah bin Abu Sufyan, Muhammad Al-Hanafiyah adalah orang yang memegang panji perang ayahnya. Ketika peperangan itu berkecamuk dengan sengit dan kedua pihak saling menyerang, terjadi suatu peristiwa aneh yang diceritakannya sendiri.
“Saya mengalami suatu kejadian aneh pada saat perang Shiffin. Ketika itu pertempuran sedang berlangsung sangat dahsyat, kedua belah pihak saling menyerang, sehingga saya mengira tak akan tersisa seorangpun baik di pihak kami maupun di pihak mereka. Pada saat itulah, tiba-tiba saya mendengar suara berseru di belakang saya: Wahai kaum muslimin, ingatlah! Siapa yang akan menjaga kaum wanita dan anak-anak? Siapa yang akan membela agama dan kehormatanmu? Siapa yang akan menghadapi tentara Romawi dan Persia? Ingatlah! Takutlah pada Allah, berbelas kasihanlah kepada kaum muslimin! Maka sejak saat itu saya berjanji tidak akan menghunus pedang lagi selama-lamanya terhadap sesama muslim.”
Setelah Ali gugur sebagai syuhada di tangan Ibnu Muljam, pemerintahan beralih ke tangan Mu’awiyah. Ia memberikan janji kepadanya untuk bersikap patuh dan taat, suka atau tidak suka, karena menginginkan perdamaian dan persatuan umat serta kemuliaan umat Islam dan kaum muslimin.
Mua’wiyah sangat yakin dengan sikap jujur yang ditunjukkan oleh Muhammad Al-Hanafiyah ketika memberikan janji setia kepadanya sehingga ia merasa senang dan sering mengundangnya untuk datang mengunjunginya.
***
Suatu ketika Raja Romawi mengirim surat kepada Mu’awiyah, yang isinya, “Sesungguhnya di antara adat kebiasaan Raja-raja kami adalah saling menghibur dengan jalan mengirimkan sesuatu yang aneh-aneh yang ada pada mereka masing-masing untuk mengadunya. Apakah engkau izinkan saya untuk melakukan hal serupa terhadap tuan?”
Surat itu dijawab oleh Mu’awiyah dengan jawaban yang bernada mengizinkan. Kemudian Raja Romawi itu mengutus dua orang yang aneh kepada Mu’awiyah. Yang pertama tinggi jangkung seperti sebatang pohon yang tinggi di tengah hutan atau seperti sebuah bangunan pencakar langit. Yang kedua kuat perkasa, bertulang besi berotot baja seperti binatang buas yang siap menerkam.
Bersamaan dengan itu, dikirimkan juga sepucuk surat yang isinya: “Apakah di kerajaan tuan ada orang yang bisa menandingi dua orang ini, baik dalam tingginya maupun dalam kekuatannya?”
Mu’awiyah berkata kepada Amr bin Ash, “Untuk menandingi orang yang tinggi itu saya sudah mendapatkan lawannya, bahkan mungkin lebih tinggi. Dialah Qais bin Sa’ad bin Ubadah. Tapi orang kuat untk menandingi kekuatan pihak lawan, saya perlu pendapatmu!”
“Ada dua orang kuat untuk menghadapinya, namun kedua orang tersebut tidak dekat dengan tuan. Mereka adalah Muhammad Al-Hanafiyah dan Abdullah bin Zubair,” jawab Amr.
“Kalau Muhammad Al-Hanafiyah tidak jauh dengan kita,” kata Mu’awiyah.
“Tapi, apakah dengan kedudukannya yang terhormat di mata umat itu dia bersedia melawan orang kuat Romawi itu di hadapan khalayak ramai?” tanya Amr.
“Dia akan melakukannya, bahkan lebih dari itu, jika dianggapnya hal itu untuk kemuliaan Islam,” lanjut Mu’awiyah.
Akhirnya Mu’awiyah mengundang Qais bin Sa’ad dan Muhammad Al-Hanafiyah untuk datang menghadapnya. Setelah semuanya berkumpul, pertandingan itupun dimulai.
Pertama, Sa’ad melawan utusan dari kerajaan Romawi itu, kemudian dilanjutkan pertandingan adu kekuatan antara Muhammad Al-Hanafiyah melawan orang kuat Romawi itu.
“Katakan kepada orang itu, apakah ia akan duduk dan saya tegak, lalu masing-masing saling berusaha untuk menegakkan lawan atau mendudukkannya? Atau kalau dia mau, biar dia yang tegak dan saya yang duduk?” Orang Romawi itu memilih duduk.
Muhammad Al-Hanafiyah memegang tangan orang Romawi itu dan diangkatnya sampai berdiri tegak. Sebaliknya, orang Romawi itu tidak mampu mendudukkannya. Tapi rupanya si orang Romawi itu belum puas, dia lalu mengambil posisi tegak dan Muhammad disuruhnya duduk. Sama seperti tadi, masing-masing memegang tangan lawannya, kemudian Muhammad menarik kedua tangan orang itu dengan keras sehingga orang tersebut merasa seakan-akan lengannya hampir lepas dari persendiannya. Orang itupun dengan mudah dapat didudukkan oleh Muhammad di atas tanah. Akhirnya kedua orang dari Romawi itu kembali pulang ke negerinya dalam keadaan kalah dan terhina.
***
Setelah meninggalnya Mu’awiyah, Yazid dan Marwan bin Hakam, kepemimpinan Bani Umayyah jatuh ke tangan Abdul Malik bin Marwan. Ia mengumumkan dirinya sebagai Khalifah kaum muslimin. Seluruh penduduk Syam telah memberikan janji setia kepadanya, tetapi penduduk Hijaz dan Irak tidak mau memberikan janji setia kepadanya, melainkan kepada Abdullah bin Zubair.
Abdul Malik bin Marwan dan Abdullah bin Zubair berlomba-lomba mengajak kaum muslimin untuk memberikan janji setia. Masing-masing mengaku dirinyalah yang lebih berhak memangku jabatan khalifah daripada lawannya.
Persatuan kaum muslimin pun terpecah kembali. Abdullah bin Zubair meminta kepada Muhammad Al-Hanafiyah agar memberikan janji setia kepadanya seperti yang telah dilakukan oleh seluruh penduduk Hijaz. Namun Muhammad Al-Hanafiyah sadar bahwa janji setia itu akan membebani dirinya dengan kewajiban-kewajiban yang sangat berat, diantaranya adalah orang menghunus pedang untuk membela orang yang telah dibaiat itu dengan memerangi orang-orang yang menentangnya, padahal orang-orang yang menentang itu masih dari kalangan kaum muslimin juga.
Masih terbayang dalam ingatannya peristiwa Shiffin dulu, suara ghaib yang menyedihkan yang berseri dari arah belakangnya, “Wahai kaum muslimin, takutlah kepada Allah. Siapa yang akan menjaga kaum wanita dan anak-anak? Siapa yang akan menghadapi bala tentara Romawi dan Persia? Semua kalimat itu masih dengan jelas terngiang dalam benaknya.
Karena itulah, ia berkata kepada Abdullah bin Zubair, “Engkau sebenarnya telah mengetahui bahwa dalam urusan ini saya tidak mempunyai keinginan dan tuntutan apa-apa, saya hanyalah salah seorang dari kaum muslimin biasa. Jika urusan ini berakhir di tanganmu atau di tangan Abdul Malik, maka saya akan berjanji setia kepada siapapun.” Namun Abdullah bin Zubair tetap berusaha membujuknya, baik dengan cara halus maupun kasar.
Tak lama setelah kejadian itu, banyak orang yang bergabung dengan Muhammad Al-Hanafiyah. Mereka menganggap pendapat itulah yang paling tepat. Lalu mereka menyerahkan kepemimpinan dalam urusan ini ke tangannya. Jumlah mereka terus bertambah hingga akhirnya mencapai kurang lebih 7000 orang, mereka semua memilih memisahkan diri dari fitnah. Mereka tidak mau menjadi kayu bakar yang membangkitkan nyala fitnah.
Semakin banyak orang yang bergabung dengan Muhammad Al-Hanafiyah, semakin kesal Abdullah bin Zubair. Ia memaksanya untuk ikut bergabung dengannya, namun ia tetap kokoh pada pendiriannya.
Setelah tidak berhasil memaksanya, Abdullah memerintahkan Muhammad dan seluruh pengikutnya baik dari keluarga Bani Hasyim maupun yang lainnya, agar tidak meninggalkan kampungnya di Makkah. Mereka dijaga ketat, sambil berseru kepada mereka, “Demi Allah, berbaiatlah kepadaku atau aku bakar kalian semua!”
Mereka semua dikurung di dalam rumah masing-masing, kemudian di sekitar rumah-rumah itu ditimbuni dengan kayu bakar sampai menutupi dinding-dinding rumah. Seandainya ada satu saja di antara kayu-kayu bakar itu dinyalakan, mereka semua akan hangus terbakar.
Menghadapi kejadian ini, sebagian pengikut Muhammad Al-Hanafiyah meminta, “Izinkan kami membunuh Abdullah bin Zubair untuk menyelamatkan orang banyak dari kekejamannya.”
“Apakah kita akan menyalakan api fitnah, padahal kita menghindar dari api itu, membunuh salah seorang sahabat Rasulullah SAW dan putra sahabatnya? Tidak! Demi Allah, kita tidak akan melakukan sesuatu yang akan membuat Allah dan Rasulnya murka,” jawab Muhammad Al-Hanafiyah.
Tatkala Abdul Malik bin Marwan mendengar berita tentang penderitaan yang dialami Muhammad Al-Hanafiyah dan para pengikutnya, ia menilai inilah saatnya yang tepat untuk menarik simpatinya. Dia mengirim sepucuk surat kepada Muhammad Al-Hanafiyah.
“Saya telah mendengar berita tentang kekejaman yang dilakukan oleh Abdullah bin Zubair terhadapmu. Ia putuskan tali kekeluargaan denganmu dan ia meremehkan hak-hakmu. Negeri Syam terbuka untukmu dan para pengikutmu. Engkau akan disambut dengan lapang dada. Tinggallah di Syam, dimana saja yang engkau sukai. Engkau akan berjumpa dengan keluarga-keluarga yang memperlakukanmu seperti keluarga sendiri. Engkau akan mempunyai tetangga-tetangga yang baik, engkau akan bertemu dengan orang-orang yang memahami hak-hakmu menghargai kemuliaan, dan menyambung silaturrahmi denganmu. Insya Allah.”
Setelah menerima surat itu, Muhammad Al-Hanafiyah berangkat diiringi para pengikutnya menuju Negeri Syam. Ketika sampai di Desa Ablah, mereka menetap di situ. Mereka disambut oleh penduduknya dengan mulia dan diperlakukan dengan baik. Seluruh penduduk menghormatinya karena ibadah dan kezuhudannya.
Ketika Abdul Malik mendengar hal itu, ia bermusyawarah dengan para penasihatnya. “Kami kira sebaiknya tuan tidak mengizinkan dia tinggal di wilayah kerajaan tuan, sebab tuan sudah saksikan sendiri bagaimana kelakuannya. Kami khawatir semua orang akhirnya akan bergabung dengannya. Sekarang begini saja. Tuan minta kepadanya supaya memberikan janji setia kepada tuan, atau tuan usir dia kembali ke tempat asalnya,” demikian saran para penasihatnya.
Abdul Malik kemudian menulis surat kepada Muhammad Al-Hanafiyah. “Engkau telah datang ke negeriku dan tinggal di daerahku. Sebagaimana engkau ketahui antara saya dengan Abdullah bin Zubair sedang terjadi persaingan. Sedang engkau adalah orang yang mempunyai nama dan kedudukan di kalangan kaum muslimin. Saya kira sebaiknya engkau jangan tinggal di daerahku, kecuali engkau bersedia berjanji setia kepadaku saya akan memberi engkau 199 ekor kuda, ambillah semuanya dan semua yang ada pada kuda itu. Di samping itu aku akan memberi engkau uang satu juta dirham, berikut semua kebutuhan anak-anakmu, sanak kerabatmu, para pelayan dan seluruh pengikutmu. Tapi kalau engkau menolak, pergilah dari daerahku ini ke daerah lain di luar kekuasaanku.”
Surat itu dibalas oleh Muhammad sebagai berikut:
Dari Muhammad bin Ali kepada Abdul Malik bin Marwan. Semoga kesejahteraan tercurah kepada tuan. Saya panjatkan puji syukur ke hadirat Allah yang Maha Esa. Amma ba’du.
Mungkin tuan merasa khawatir kepada saya, padahal dulu saya mengira tuan mengetahui kedudukanku dalam urusan ini. Demi Allah, seandainya seluruh umat bersatu untuk memaksaku melakukan hal itu, saya tetap tidak akan melakukannya dan saya tidak akan memerangi mereka karena itu.
Dulu saya tinggal di Makkah, lalu Abdullah bin Zubair memaksaku agar memberikan janji setia kepadanya, ketika saya menolak, ia bersikap buruk kepadaku. Kemudian tuan menulis surat kepadaku, agar saya tinggal di Negeri Syam. Tetapi tuan kemudian menulis surat lagi yang isinya menyuruh saya berjanji setia kepada tuan, dan tuan akan mengusir kami seandainya kami menolak permintaan tuan itu. Kami akan pergi dari daerah ini, Insya Allah.
Berangkatlah Muhammad Al-Hanafiyah beserta keluarga dan para pengikutnya meninggalkan Negeri Syam. Setiap kali ia singgah di suatu daerah, ia diancam agar angkat kaki dari situ.
Dalam situasi seperti itu, sebagian pengikutnya yang lemah iman berkata, “Rasulullah SAW telah menanamkan banyak rahasia ilmu, pokok-pokok agama dan perbendaharaan syariat ke dalam dada Ali dan keluarganya. Beliau telah mengkhususkan keluarganya dengan apa yang tidak diketahui oleh orang lain.”
Muhammad Al-Hanafiyah menangkap tujuan dari ucapan tersebut yang akan memecah belah persatuan umat Islam. Karena itu, ia lalu mengumpulkan pengikutnya kemudian berpidato di hadapan mereka.
“Wahai saudaraku sekalian, sebagian orang menyangka bahwa kami seluruh Ahlul Bait telah dikhususkan oleh Rasulullah SAW untuk menerima ilmu yang tidak diketahui oleh orang lain. Sebenarnya kami, demi Allah, tidaklah mewarisi sesuatu pun dari Rasulullah SAW selain yang ada dalam lembaran-lembaran Al-Qur’an. Barangsiapa mengira bahwa kami mempunyai sesuatu selain kitab Allah, maka sesungguhnya ia telah berdusta.”
Jika ada pengikutnya yang mengucapkan salam kepadanya dengan ucapan “Assalamu’alaikum, ya Mahdi, dia menjawab, “Ya, saya memang Mahdi (pemberi petunjuk) ke jalan kebaikan dan engkau semua juga adalah Mahdiyyun (para pemberi petunjuk) kepada kepada kebaikan, Insya Allah. Tetapi jika kalian memberi salam kepadaku, sebaiknya sebutlah saya dengan nama saya. Katakanlah, Assalamu’alaika ya Muhammad.”
Setelah beberapa lama berada di pengasingan, Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi, berhasil mengalahkan Abdullah bin Zubair. Hajjaj memerintahkan semua orang untuk berjanji setia kepada Abdul Malik bin Marwan. Tak ada pilihan lain bagi Muhammad dan pengikutnya untuk menulis surat yang isinya antara lain:
“Kepada hamba Allah Amirul Mukminin Abdul Malik bin Marwan dari Muhammad bin Ali. Setelah saya melihat urusan ini beralih ke tanganmu dan semua orang sudah memberikan janji setia kepadamu, maka saya selaku salah seorang dari mereka juga berjanji setia dengan perantaraan gubernur di Hijaz. Di samping itu juga saya memberikan janji setia kepadamu secara tertulis.” Wassalamu’alaika.
Ketika Abdul Malik menerima dan membaca surat itu di hadapan para penasihatnya, mereka berkata:
“Seandainya ia ingin memberontak dan mengadakan perlawanan dalam urusan ini, tentu ia akan mampu melakukannya dan tuan tak akan sanggup mengatasinya. Karena itu, segeralah tuan balas surat kepadanya untuk memberikan jaminan tidak akan mengganggu dan menyakitinya.”
Abdul Malik menuruti nasihat tersebut, kemudian menulis sepucuk surat kepada Muhammad Al-Hanafiyah tentang hal tersebut. Begitu kepada Hajjaj bin Yusuf diperintahkan supaya menghormatinya, menjaga kesuciannya dan memuliakannya.
Tak lama setelah itu, Muhammad Al-Hanafiyah meninggal dunia. Semoga Allah memberikan rahmat kepadanya. Ia termasuk golongan orang yang tidak ingin berbuat kerusakan di muka bumi ini.
Sumber gambar ilustrasi: http://static.republika.co.id/uploads/images/detailnews/ilustrasi-_110421112050-823.jpg
Sedikitn noda buat Syd muh. AlHanafiyah ra adl keenganannya membela Imam Husein as ketika melawaj Yazid bin Muawiyah laknatullah.
Imam Husein adl penghulu para Sufi pada zamannya. Jangan anda lupakan itu..
Setiap Filosof belum tentu Nabi, tapi setiap Nabi pasti Filosof. setiap Sufi belum tentu Nabi, tapi setiap Nabi pasti Sufi. Sedangkan penghulu para Nabi dan Sufi adalah Nabi Muhammad Saw. Husein adalah cucunya Nabi Muhammad Saw. dan kita percaya ia adalah seorang sufi. Tapi jika Husein dikatakan penghulunya para sufi, lalu Nabi Muhammad Saw. sebagai apa (apakah Husein lebih hebat daripada Nabi Muhammad Saw.)? Tetap saja saudaraku yang namanya penghulunya para sufi adalah Nabi Muhammad Saw. Sedangkan Husein adalah cucu dan penerus ajaran penghulu para sufi, yaitu Nabi Muhammad Saw.
Mudah-mudahan saudaraku yang tercinta ini bisa memahaminya. thakns. god bless yaou!
@Ali ridho
Saya mengatakan : Imam Husein adl penghulu para Sufi pada
zamannya.
Artinya Imam husein menjadi penghulu sufi setelah Rasulullah, Imam Ali dan Imam Hasan wafat.
Saya mengerti paparan anda dan semoga anda paham maksud saya..
@salafy is dead
Mksd Sayid Muhammad Al-Hanafiah Rah sdh jelas dlm niat dan tertulis dalam suratnya.. bknnya beliau tdk mau memihak ttp niat beliau adalah spy umat tdk berselisih lbh jauh sprti yg sdh terjd skrg ini.. itu niat yg mulia wahai saudaraku…
Dalam satu riwayat sufi, Saidina Muhammad Hanafiah,belum wafat tpi dia berada dalam satu gua,dan akan keluar ketika akhir zaman nanti , dia yg membunuh raja Habsyah yg ingin merobohkan kaabah. Wallahua’lam
izinkan menyimak